(CNN) Seorang pendaki gunung Inggris yang baru-baru ini meninggal di Everest memperingatkan tentang adanya kepadatan di puncak dalam postingan terakhirnya ke media sosial.
Robin Haynes Fisher meninggal akibat Altitude Sickness pada ketinggian 8.600 meter (28.215 feet). Ketika turun dari puncak pada hari Sabtu, 25 Mei.
"Saya berharap untuk menghindari keramaian pada hari puncak dan sepertinya sejumlah tim mendorong ke puncak pada tanggal 21" tulisnya dalam posting Instagram bertajuk pada 19 Mei 2019.
"Dengan satu rute menuju puncak, kepadatan yang berlebihan bisa berakibat fatal, jadi aku berharap keputusanku untuk antri ke 25 akan berarti. Kecuali tentu saja semua orang diatas sana juga memainkan permainan menunggu yang sama"
![]() |
| Antrian pendaki menuju puncak Everest (Foto : 22 Mei 2019) |
Haynes Fisher adalah satu dari sembilan pendaki yang tewas di Everest pada musim pendakian 2019, dimana saat itu kondisi gunung tertinggi di dunia berubah mematikan.
Selama minggu, dimulai tanggal 20 Mei, kerumunan pendaki terjebak dalam antrian menuju puncak, di atas camp terakhir (26.247 feet). Everest tercatat 8.848 meter (29.029 feet), dimana pada ketinggian tersebut faktor kandungan oksigen hanya 30%, atau sepertiga oksigen yang ada pada permukaan laut.
Kebanyakan orang hanya dapat menghabiskan waktu beberapa menit di puncak tanpa pasokan oksigen tambahan, dan daerah tempat para pendaki antri dikenal sebagai "death zone".
Adrian Ballinger mengatakan kepada CNN bahwa selama musim ini kondisi cuaca kurang bersahabat dan menyebabkan kepadatan, karena pencapaian puncak dibatasi untuk beberapa hari. Masalah semakin diperburuk oleh kurangnya pengalaman pada beberapa tim pendakian. Ballinger mengatakan kebanyakan mati karena kelelahan, tetapi biasa juga berarti mereka kehabisan pasokan oksigen setelah menghabiskan terlalu lama di sana. "Kematian ini sebenarnya bisa dicegah. Ini disebabkan kurangnya penilaian pada musim yang sulit dengan cuaca yang sulit", katanya.
Seorang pakar medis ketinggian Sundeep Dhillon menjelaskan kepada CNN bahwa mungkin bahaya terbesar adalah ketika seorang pendaki umumnya memandang puncak sebagai titik akhir dari perjalanan.
Menurut perkiraan Dhillon, "Anda mungkin memiliki peluang satu dari 10 untuk mati saat turun. Mereka mampu mengerahkan diri di luar kemampuan mereka sambil meremehkan bahaya ketinggian ekstrem. Mereka lupa mereka sedang berada di Zona Kematian".
Operator pendakian asal Nepal Dhruba Bista, jatuh sakit dan terpaksa harus di evakuasi menggunakan helikopter menuju base camp, dimana akhirnya dia meninggal pada hari Jumat. Dan pendaki Irlandia Kevin Hynes, meninggal Jumat pagi di tendanya pada ketinggian 7.000 meter (22.966 feet).
Dua pendaki lain meninggal hari Rabu setelah turun dari puncak. Anjali Kulkarni - India, dan Donald Lynn Cash - Amerika.
Kalpana Das dan Nihal Bagwan - India, juga meninggal hari Kamis. Ravi - India, meninggal minggu sebelumnya pada tanggal 17 Mei 2019.
Pekan lalu, pencarian Seamus Lawless - Irlandia, dibatalkan, setelah Profesor Trinity College Dublin terjatuh saat turun dari puncak.
![]() |
| Pengacara Amerika Christopher Kulish tercatat ke-11 tewas musim pendakian 2019. |
Banyaknya jumlah korban tewas pada musim pendakian Everest 2019 memang bukan hal mustahil dan dapat saja terjadi. Pada tahun 2018, lima pendaki meninggal, sementara enam pendaki meninggal pada tahun 2017 dan 2016. Lebih dari 200 pendaki tewas di Everest sejak tahun 1922. Mayoritas jasad tersebut diyakini masih terkubur di bawah gletser atau salju.
Sumber : Jack Guy, Sugam Pokharel and Angus Watson, CNN
Updated 2:21 PM ET, Mon May 27, 2019




0 Comments:
Posting Komentar