Pada 10 April 1815, Gunung Tambora meletus dan tercatat sebagai letusan terbesar dalam sejarah. Pada Volcanic Explosivity Index (VEI), sistem klasifikasi yang mirip dengan skala yang digunakan untuk menilai gempa bumi, tingkat letusan Tambora mencapai a VEI-7.
Skala di mulai dari 1 hingga 8, dengan kisaran angka sekitar 10 kali lebih kuat daripada yang sebelumnya. Dan belum ada VEI-8 dalam 10.000 tahun terakhir. Letusan Tambora yang terjadi saat itu menewaskan sedikitnya 88.000 orang.
Letusan dahsyat - terdengar di Pulau Sumatra, lebih dari 1.230 mil atau hampir 1.930 km jauhnya. Memuntahkan sekitar 36 mil kubik (150 kilometer kubik) batu dan abu ke angkasa. Abu dari letusan itu di deteksi setidaknya sampai sejauh 808 mil 1.300 km ke arah barat laut, menurut pernyataan NASA.
Sejarah mencatat kalau erupsi Tambora pada tahun 1815 menjadi salah satu letusan gunung berapi terdahsyat. Begitu banyak abu ke atmosfer Bumi dan sehingga menghalangi sebagian dari sinar matahari, menyebabkan suhu global lebih rendah. Dampaknya hingga belahan bumi lain dan memicu "tahun tanpa musim panas" pada tahun 1816. Kejadian ini mengakibatkan gagal panen dan penyakit yang meluas, membuat lebih dari 100.000 kematian di seluruh dunia.
Seorang astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional menangkap gambar kaldera puncak Gunung Tambora ini pada Maret 2009. Kaldera besar - berdiameter 3,7 mil (6 km) dan kedalaman 3.609 kaki (1.100 meter) - terbentuk ketika letusan itu menghapus puncak Tambora yang diperkirakan setinggi 13,123-kaki (4.000 m) dan membuat kosong ruang magma bagian di bawahnya.
![]() |
Gunung
Tambora, salah satu letusan terbesar dalam sejarah
yang tercatat pada 10 April 1815, seperti terlihat dalam gambar yang
diambil oleh seorang astronot (Gambar: © NASA)
|
Saat ini sebuah danau air tawar menempati bagian dari kawah puncak, seperti halnya lava kecil mengalir dan kubah dari abad ke 19 dan 20. Fumarol aktif, atau lubang uap, masih ditemukan di kaldera.
Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa sebuah desa, dan dua orang dewasa terkubur di bawah hampir 10 kaki (3 m) abu di parit di sisa-sisa bekas Kerajaan Tambora di kubur oleh letusan 1815 yang melenyapkannya.
Ada kesamaan Tambora dengan letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 telah menyebabkan deskripsi situs Tambora sebagai "Pompeii dari Timur," menurut pernyataan NASA.
Apabila letusan terjadi pada tahun 2085, National Center for Atmospheric Research (NCAR) memprediksi dampaknya akan lebih dahsyat dari sebelumnya. Suhu akan turun drastis, siklus air terganggu, serta mengurangi jumlah curah hujan yang turun secara global.
Alasan perbedaan efek yang terjadi pada tahun 1815 dan 2085 terkait dengan lautan yang diperkirakan akan menjadi lebih bertingkat karena planet ini menghangat, dan oleh karena itu kurang mampu mengatasi dampak iklim yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi.
"Kami menemukan bahwa lautan mempunyai peran penting dalam mengatasi, dan memperpanjang pendinginan permukaan yang disebabkan oleh letusan 1815," kata John Fasullo, peneliti NCAR seperti dikutip dari Phys, (31/10/2017).
Saat meletus, Gunung Tambora memuntahkan sejumlah besar sulfur dioksida ke atmosfer yang kemudian berubah menjadi partikel sulfat yang disebut aerosol. Dimana aerosol mulai menghalangi sebagian panas matahari, terjadi proses pendinginan.
Di saat yang sama, lautan berfungsi sebagai penyeimbang penting untuk mengurai efek letusan. Seiring permukaan lautan mendingin, air yang lebih dingin turun dan bercampur dengan air yang lebih hangat dan melepaskan lebih banyak panas ke atmosfer.
Namun, hal berbeda terjadi jika Tambora meletus pada tahun 2085. Peneliti berkata jika kemampuan laut untuk membantu mengatur proses pendinginan akan berkurang. Ini karena suhu laut semakin bertingkat, suhu di laut bagian atas tidak menembus ke kedalaman seefisien pada tahun 1815.
Dengan kata lain, air dingin akan terperangkap di permukaan laut daripada bersirkulasi ke tingkat yang lebih dalam. Akibatnya, pendinginan terjadi 40 persen lebih lama dan lebih parah dibandingkan tahun 1815. Bahkan, bisa berlangsung hingga beberapa tahun.
Suhu permukaan laut yang dingin akibat erupsi juga mencegah penguapan. Ini berarti, selain penurunan suhu yang drastis, manusia juga bisa menghadapi kekeringan parah di tahun-tahun setelah letusan gunung berapi besar karena hujan tidak turun.
Temuan mengenai dampak letusan Tambora dilakukan dengan menggunakan dua simulasi dari Community Earth System Model. Simulasi pertama mensimulasikan iklim Bumi dari tahun 850 hingga 2005, termasuk erupsi vulkanik yang terjadi dalam sejarah.
Kedua, mensimulasikan iklim Bumi yang menghasilkan hipotesis meletuskan Gunung Tambora pada tahun 2085. "Penelitian ini memberikan persepektif bagaimana di masa depan iklim bisa berpengaruh pada letusan gunung berapi", kata Otto-Bliesner, peneliti lain yang terlibat dalam studi ini.
Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Kawasan Gunung Tambora kini telah resmi menjadi Taman Nasional yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 11 April 2015.
Potensi wisata alam Gunung Tambora menyuguhkan keindahan panorama dari hutan daratan rendah hingga hutan pegunungan. Berbagai flora dan fauna dapat ditemui yang akan menambah pengalaman dan merupakan sensasi tersendiri bagi wisatawan.
Terdapat 4 gerbang pintu masuk kawasan Gunung Tambora, yaitu jalur Piong (Kiore), jalur Kawindato’i, jalur Dorocanga, dan jalur Pancasila.
0 Comments:
Posting Komentar