Apa Yang Salah Pada Sistem Diklatsar Pecinta Alam Indonesia?

“Dilarang mengambil apapun kecuali foto—dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak—dilarang membunuh apapun kecuali waktu”

Diklatsar merupakan suatu hal wajib dan syarat rekruitmen awal bagi para calon anggota yang akan masuk suatu komunitas organisasi, baik itu Organisasi Pecinta Alam (OPA), Siswa Pecinta Alam (Sispala), maupun Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Namun tidak sedikit yang memandang diklatsar pecinta alam identik dengan kekerasan.

Menilik soal kegiatan alam bebas di Indonesia tentu takkan terpisahkan dari tiga organisasi tertua, yaitu Wanadri (Bandung) dan Mapala Universitas Indonesia yang sama-sama lahir pada 1964, dan kemudian pada tahun 1967 berdiri pula Aranyacala Universitas Trisakti (Jakarta).

Perbedaan metode diklatsar yang diterapkan adalah otoritas penuh dari setiap organisasi pecinta alam. Ini karena memang tidak ada standar baku perekutan yang diterapkan di Indonesia. Mayoritas memang menolak adanya penyamaan pola pendidikan, dengan alasan organisasi pecinta alam bukan seperti organisasi yang lain yang mengandalkan sistem organisasi top down yang mempunyai kepengurusan dari pusat ke daerah sampai ranting seperti halnya Pramuka dan organisasi pemerintah lainnya.
Namun ada baiknya untuk sejenak instropeksi diri sendiri, benarkah sistem diklatsar pecinta alam sudah bagus? Masih relevankah sistem diklatsar yang digunakan? Kalau memang sudah sesuai mengapa justru dewasa ini peminatnya semakin sedikit? Kenapa setelah menjadi anggota ternyata justru malas mengelola organisasi? Apa penyebab hilangnya loyalitas dan dedikasi anggota? Mengapa easa solidaritas sesama penggiat alam bebas mulai luntur? Tentu masih banyak lagi pertanyaan yang masih belum dapat terjawab.

Paradigma pecinta alam zaman dulu, dengan pecinta alam zaman sekarang terlihat sangat berbeda. Dulu setiap anggota merasa puas dan bangga mengenakan seragam dan syal pasca berhasil melalui tantangan diklatsar (the winner from the challenger). Setelah resmi menjadi anggota muda, mereka turut membangun dan bersikap loyal terhadap organisasi tanpa merasa adanya tekanan.

Para penggiat olahraga alam bebas saat ini masih memiliki rasa solidaritas dan loyalitas, baik antar individu maupun antar sesama organisasi. Hanya kini prosentase empati dan rasa kepeduliannya antar individu maupun kelompok telah begitu menurun jauh. Tentu ini harus menjadi instropeksi bersama.

Rasanya sudah waktunya melakukan penyegaran pada sistem rekruitment anggota dengan lebih mengedepankan visi ruang belajar berkelanjutan sesuai dengan paradigma era teknologi saat ini.

"Sesungguhnya mental dan pengetahuan itu takkan pernah di dapat dari aksi pelocoan dan diklat sesaat, sebab saya percaya semua itu akan terbentuk seiring waktu dari pemahaman secara utuh dan edukasi yang benar". - Ludfi Arief Budiman -

Status quo yang ditujukan kepada para senioritas tak jarang malah menciptakan pola hierakis ala militerisasi. Tiba waktunya untuk mengedepankan pemahaman dan edukasi dunia olahraga alam bebas secara utuh, demi meraih prestasi terbaik untuk Indonesia.

Jangan jadikan diklatsar sebagai ajang pamer, ajang kekerasan, apalagi sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

1 komentar: