Secuil Kisah Naik Gunung Sebelum Ada Booking Dan Simaksi.

Pernahkah kalian mengalami kenangan seperti ini. Era sebelum ada ponsel pintar. Dimana gunung di tanah air masih sangat sepi. Bawa carrier Alpina atau Jayagiri udah terasa sangat mewah. Masa itu naik gunung tidak perlu sibuk urus booking apalagi simaksi. Sebagian besar belum ada petugas di pos perijinan pendakian.
Mau naik gunung yang jauh di luar pulau, cari informasi data mesti harus pakai surat menyurat. Bete nya balasan surat dari teman datang beberapa bulan kemudian. Sudah pasti bentuk fisik gunung baru paham setelah melihat dengan mata kepala sendiri setibanya di lokasi base camp tujuan.

Untuk dokumentasi masih menggunakan foto klise. Paling banyak satu rol berisi 36, dengan asa 100, asa 200 atau asa 400. Kadang lucunya sudah capek capek action di atas gunung, namun saat di cetak ternyata tidak ada satupun foto yang jadi.

Kompor parafin, lampu badai, lilin, veples, nasting TNI, radio transistor, senter hansip, topi rimba, baju flanel, ponco adalah beberapa perlengkapan wajib di bawa. Sementara sleeping bag dan tenda dome masih merupakan barang langka di miliki.

Sebagai cadangan untuk masak, ada yang menggunakan kompor minyak tanah seperti yang di gunakan penjual gerobak nasi goreng. Minyak tanah di masukkan ke dalam botol infus dan dialirkan dengan selang ke kompor. Bila ngadat, bersihkannya harus di korek pakai peniti.
Masa itu persaudaraan antara sesama peggiat alam olahraga bebas Indonesia masih sangat kuat sekali. Saling tukar alamat di buku kecil dan gelang perusik menjadi tradisi bentuk penghormatan terbaik.

Senda gurau mereka terdengar menyapa ramah di setiap puncak gunung tanah air. Menghabiskan waktu luang di sisi senja sembari menyeruput secangkir kopi panas dalam hangatnya tenda. Dan itu ciri khas mereka dalam berbagi cerita pengalaman hidup. Kebahagiaan itu adalah hal-hal yang kita lakukan, bukan hal-hal yang kita miliki.

Jaya Selalu Gunung Rimba Indonesia...

0 Comments:

Posting Komentar